Senin, 19 April 2010

sebuah pernikahan

Semalem tiba2 aja nyokap ngomongin masalah pernikahan sama gue.

Nyokap : “Kamu tahun ini 23 tahun kan Sha..??”

Gue : “Iya..emang kenapa??”

Nyokap : “Udah mau 23 tahun kok belom ada dewasa2nya sama sekali..kapan mau nikahnya kalo gitu??”

Gue : “Lah terus kenapa gitu..?? Yha (panggilan gue di rumah) kan ga ada niat mau nikah tahun ini juga..”

Nyokap : “Ibu tu dulu nikah umur 23 tahun..kamu umur 23 masih kayak anak2..sama sekali ga dewasa..maunya masih main2 terus..mau nikah umur berapa kalo gitu terus??”

Gue : “Yaelah kenapa tiba2 ngomongin nikah sih?? Yha nikah juga masih lama..25-26 tahun lah..sekarang mah seneng aja dulu..ntar kan kalo udah nikah ga bisa seneng2 lagi..”

Kira2 begitulah omongan soal pernikahan antara gue dan nyokap. Entah kenapa, nyokap emang masih nganggep gue kayak anak kecil banget bahkan kalo dibandingin sama adek gue yang masih SMA (beda 7 tahun sama gue), beliau kadang masih nganggep gue lebih childish. Ga cuma nyokap, abang gue, dan beberapa temen gue ternyata juga punya pendapat yang sama. Gue juga gatau dasar penilaian mereka apa, mungkin karena mereka melihat gue memang masih terlalu suka untuk senang2 dan belum bisa serius menata hidup gue.

Balik ke soal pernikahan. Mungkin salah satu alasan gue (sama sekali) belum siap menikah di umur yang terbilang sudah termasuk matang, memang karena sikap childish gue itu. Seorang sahabat pernah berkata kepada gue, “jangan menikah karena batasan usia, tapi menikahlah saat kita sudah benar2 siap untuk terikat dan bisa bertanggungjawab atas pernikahan kita itu.” Dan gue akui, gue memang belum siap untuk itu semua. Jiwa egoisme gue masih sangat besar. Bayangan tentang sebuah pernikahan buat gue kadang jadi terlalu menyeramkan. Hilangnya kebebasan dan kesempatan untuk bersenang2. Semua hanya terfokus pada soal tanggungjawab. Tanggungjawab sama suami, orangtua (yang udah menikahkan), juga (nantinya) anak, dan terutama Tuhan, karena pas kita ngelakuin ijab kabul atau pemberkatan, kita secara langsung juga udah janji sama Tuhan untuk menjaga pernikahan kita itu.

Berbeda sama temen2 (sebaya) gue yang udah mulai memikirkan masalah pernikahan. Gue malah berfikir sebaliknya, gimana gue bisa memperpanjang waktu gue untuk bersenang2. Ada beberapa cerita dari temen2 gue yang udah merasakan pernikahan. Entah itu cerita buruk ataupun manis, tapi semuanya tetep jadi salah satu bahan pertimbangan gue soal dunia pernikahan. Kadang gue ngerasa salut sama temen2 gue yang berani ambil langkah untuk menikah muda. Tapi gue juga kadang ngerasa miris kalo ngedenger cerita pahit mereka soal pernikahan yang mereka jalanin selama ini.

Awal tahun ini, tepat sehari sebelum gue berangkat ke Bandung untuk menghadiri acara pertunangannya Teh Hana dan Pongky, seorang teman SMP-SMA tiba2 menelpon gue. Dia bukan teman dekat. Bisa dibilang kita cuma sekedar kenal aja. Gue juga agak heran sebenernya kenapa tiba2 dia nelpon. Untuk menghargai akhirnya gue terima telpon dari dia. Di telpon dia cerita panjang lebar soal pernikahannya. Dia bilang dia udah punya 2 orang anak (seorang balita umur 3 tahun dan bayi 6 bulan), dan saat itu dia sedang kesulitan uang dan minta bantuan gue untuk beli susu anaknya.

Dia cerita detail tentang kehidupannya sekarang. Suaminya yang cuma supir angkot dan sering sakit2an. Dia dan keluarga kecilnya tinggal di rumah kontrakan kecil di salah satu daerah yang terkenal kumuh di Depok. Benar2 kehidupan yang beda dari kehidupannya dulu. Setau gue, semasa SMP-SMA dia adalah salah 1 murid berprestasi, terutama dalam bidang olahraga renang. Udah banyak banget piala yang dia sumbangin untuk sekolah. Gue yang udah pernah main kerumahnya beberapa kali juga tau persis bagaimana kondisi finansial keluarganya. Jadi cerita dia soal kehidupannya yang sekarang sempet bikin gue ga percaya. Gimana caranya seorang yang kaya raya bisa tiba2 jatuh miskin begitu saja.

Sedikit jawaban gue bisa dapet dari ceritanya. Dia mengaku kalo menikah tidak dengan restu orangtua karena masalah perbedaan agama dan latar belakang suaminya yang bisa dibilang ga sederajat sama keluarganya. Karena dia bersikeras untuk tetep nikah sama pilihan hatinya, dia akhirnya harus rela untuk diusir dari rumah. Dan beginilah hidupnya sekarang. Hidup sederhana dengan 2 anaknya dan suaminya yang cuma punya penghasilan pas2an. Walau begitu dia mengaku senang sama hidupnya sekarang. Mungkin anak2nya yang jadi penguat untuk dia atau dia ingin tetap membuktikan kepada orangtuanya kalau dia tidak akan menyesali pilihannya dulu.

Pasti berat hidup seperti dia. Harus terbuang dari keluarga dan benar2 berjuang untuk bertahan hidup, apalagi dengan tanggungan 2 orang anak. Tapi gue salut karena dia bisa ngelaluin itu semua sampe sekarang. Mungkin udah ga ada kata bersenang2 lagi dalam kamusnya. Sekarang yang dia pikirkan cuma bagaimana keluarganya bisa tetap makan setiap hari. Mungkin juga dia sudah mulai bingung memikirkan bagaimana pendidikan untuk anak2nya nanti tanpa memikirkan pendidikannya sendiri. Sedangkan gue sendiri masih punya banyak rencana yang mau gue wujudkan sebelum gue benar2 terikat.

Cerita lainnya dari seorang sahabat dekat. Usia pernikahannya baru 1 tahun. Dan kemarin (tanggal 13 April 2010) dia dan suami baru aja dikaruniai seorang bayi laki2 mungil (Zayyan Parsa Alrizu). Banyak cerita bahagia yang gue denger dari dia. Tapi gue sering gue menangkap kesan jika dia belum sepenuhnya siap untuk pernikahannya ini. Banyak hal yang harus dia korbankan, contohnya adalah pekerjaan dan waktunya bersama teman2. Sejak dia menikah memang tidak banyak waktu lagi yang bisa dia luangkan untuk berkumpul dengan teman2nya. Semua waktu benar2 dia sediakan untuk suaminya tercinta.

Kemaren pas gue nengokin dia lahiran, gue juga sempet ngeliat langsung gimana dia masih canggung waktu gendong dan nyusuin anaknya sendiri. Dia nyusuin dengan susah payah dibantu seorang suster rumah sakit. Dari bibirnya sendiri dia sempet ngomong, “sense of mother gue belom keluar deh nih kayaknya..makanya gue butuh nyokap gue nih buat ngurusin anak gue juga”. Saat itu gue cuma bisa cengar-cengir aja. Hati kecil gue seperti mengingatkan kalau gue nantinya juga bakal ngalamin hal itu juga.

Begitu anaknya pulang kerumah, gue dan temen2 SMA gue juga sempet ngeluangin waktu buat nengokin si baby lagi. Disana tetap terlihat kalo dia juga masih canggung waktu nyusuin anaknya. Dia bahkan harus memanggil temennya yang berprofesi sebagai bidan untuk bantuin dia nyusuin saat itu. Dan pada saat si baby udah selesai nyusu, dia pun ga berani untuk nepuk2 anaknya (biar sendawa) dan lebih milih untuk menyerahkan tugas itu ke ibunya. Begitu si baby ada di tangan sang eyang, dia langsung gabung sama kita (temen2nya) dan seakan lupa sama anaknya. Ibunya sampai harus beberapa kali mengingatkan dia untuk melihat anaknya di dalem kamar.

Walaupun begitu, gue juga salut sama dia. Bisa dibilang dia lebih childish dibanding gue, tapi dia berani untuk mengambil langkah menikah muda di umurnya yang waktu itu baru 21 tahun. Umur yang buat gue malah jadi masa puncak gue bersenang2. Dan sekarang, saat umurnya belum genap 23 tahun, dia juga sudah harus mengemban tugas mulia sebagai seorang ibu. Walaupun terlihat jelas dia masih ingin bersenang2, karena sempat terlontar dari mulutnya keinginan untuk bisa berkaraoke dengan temen2nya seperti dulu, gue yakin dia bisa mengesampingkan semua itu demi keluarga kecilnya. Satu langkah berani yang belum tentu bisa gue lakukan.

Sebenernya kapanpun waktu yang kita pilih untuk menikah nanti, satu hal yang pasti harus kita lakukan adalah membuang jauh2 egoisme kita. Karena dalam pernikahan akan ada 2 kepala dan itu tidak akan bisa berhasil jika salah satunya masih mementingkan egonya sendiri. Semoga jika saat itu datang (saat menikah untuk gue), gue benar2 udah 100% siap untuk bisa terikat dan bertanggungjawab penuh dengan rumah tangga gue nantinya. Dan sambil menunggu saat itu datang, gue akan pergunakan waktu yang ada sebaik mungkin untuk mewujudkan semua rencana gue supaya kalo gue nanti udah menikah, gue akan bisa fokus sama keluarga dan kerjaan gue tanpa memikirkan egoisme pribadi gue.

Jumat, 16 April 2010

Mr. Right

Kadang saat seseorang jatuh cinta, dia selalu berkata bila pilihannya saat inilah yang paling tepat. Bahwa dia telah menemukan sang arjuna atau sang dewi cinta. Banyak yang bahkan telah menyusun banyak rencana bersama pasangannya. Tapi saat masalah mulai muncul satu per satu, semua yang telah ada hilang begitu saja. Tidak ada lagi cinta. Yang ada hanya benci dan caci. Tanpa pernah melihat bahwa orang tersebut pernah membuatnya bahagia.

Mungkin aku salah satu dari mereka. Yang selalu mengagungkan cinta saat semua terlihat indah di depan mata. Tapi pada saat aku merasakan sakitnya, aku akan berpikir apakah ini yang namanya cinta..?? Apakah aku memang telah memilih orang yang tepat..?? Apakah aku tidak akan menyesal nantinya jika terlanjur memilih orang yang salah..?? Tidak ada lagi bahagia, semua berubah menjadi dilema.

Banyak orang memakai cara berbeda untuk menyelesaikannya. Entah dengan main hati dan menduakan pasangannya. Mulai menabuh genderang perang untuk memusuhi pasangannya. Atau bahkan seperti aku, menenggelamkan diri dalam kesendirian. Apapun pilihannya, mungkin akan lebih bijaksana bila kita meluangkan waktu lebih lama untuk menanti seseorang yang benar2 tepat untuk kita dibanding harus menghabiskan waktu yang berharga dengan orang yang salah.

Rabu, 07 April 2010

pulang

Saat ini aku berada dalam kereta yang akan membawaku kembali ke Jakarta. Membawa serta kesedihanku dan meninggalkan semua senyumku di Yogyakarta. Selalu sulit bagiku tiap kali harus meninggalkan Yogya. Kota yang telah banyak memberiku kenangan. Tentang semua ceritaku, para sahabat setia, terutama tentang dia.

Aku benci tiap kali harus mengucapkan selamat tinggal pada kota ini walau hanya sementara. Disini aku mengukir cerita. Disini aku mengenang segalanya. Disini pula aku bisa melihat senyuman mereka. Orang2 yang memang pantas disebut sebagai sahabat.

Perpisahan kali ini terasa begitu berat saat aku menyadari banyak yang menyayangiku disini. Banyak yang tidak ingin aku pergi. Banyak yang ingin aku tetap disini. Berat rasanya saat harus menyaksikan airmata mereka turun mengantarkan kepulanganku.

Yogyakarta, kota ini sepertinya juga tahu bagaimana perasaanku saat harus pergi malam ini. Pagi tadi hujan membasahi Yogya, padahal hari2 sebelumnya Yogya selalu menunjukkan wajahnya yang cerah dengan langit birunya dan sinar matahari yang hangat. Tapi hari ini hujan, hujan yang sama derasnya seperti airmata mereka. Yogya seakan mencegahku pergi juga.

Ingin rasanya aku berteriak agar kalian tahu bahwa meninggalkan Yogya sama beratnya seperti kalian melepasku pergi. Aku berusaha tidak menangis agar kalian yakin aku akan kembali lagi kesini. Kelak tidak akan ada lagi tangis yang mengantar aku pergi. Kelak aku akan melihat wajah bahagia kalian yang menyambutku datang dengan berjuta rencana.

Mungkin kali ini aku memang tidak bisa tinggal lebih lama. Tapi dalam hati aku berjanji, aku pasti akan menginjakkan kakiku lagi disini. Akan akan tinggal selamanya. Yogya akan jadi tempat kemana aku akan pulang, bukan Jakarta. Aku ingin menghabiskan masa tuaku disini, bersama kalian dan dia. Bahkan aku berharap jasadku pun akan abadi dalam pelukan tanah Yogya. Semoga..