Jumat, 22 Juni 2012

Koleksi Kamera Tua

Dibawah ini adalah beberapa dari koleksi kamera analog tua punya bokap. Semuanya masih bisa berfungsi dengan baik walaupun lensanya sudah agak berjamur. Maklum saja, kamera2 ini hampir 20 tahun mendekam di dalam lemari tanpa perawatan sama sekali setelah bokap memutuskan pensiun dari dunia fotografi. Walaupun gue juga tidak menggunakannya karena alasan kepraktisan, tapi gue akan tetap menyimpan semua kamera ini dengan baik karena walaupun tua, kamera2 ini adalah salah 1 warisan dari bokap yang sangat berharga.

NIKON FM
The Nikon FM is an advanced mechanically operated, interchangeable lens, 35 mm film, single-lens reflex (SLR) camera. It was manufactured in Japan between 1977 and 1982 by Nippon Kogaku K. K. (now Nikon Corporation). The FM accepts all Nikon F bayonet mount lenses, with certain limitations or exceptions. Full compatibility requires lenses that support the Automatic Maximum-Aperture Indexing (AI) specification. This includes most Nikon lenses manufactured after 1977. Pre-AI lenses can be used, but only with stop-down metering. Time has proven the FM to be tough and reliable and it is now regarded as one of the finest SLRs of its generation.

Kamera ini termasuk yang paling sering gue pakai. Kebetulan kamera DSLR gue juga 1 merek dengan kamera ini, jadi gue masih bisa pake lensanya di DSLR gue dengan modus manual. Ini juga salah 1 kamera yang gue pake buat belajar fotografi sama bokap dulu, sayangnya gue ga terlalu mudeng dengan sistem pengoperasiannya, jadi dulu banyak banget hasil jepretan gue yang gagal.

PENTAX ASAHI K1000
The Pentax K1000 (originally marked the Asahi Pentax K1000) is an interchangeable lens, 35 mm film, single-lens reflex (SLR) camera, manufactured by Asahi Optical Co., Ltd. from 1976 to 1997, originally in Japan. It uses a horizontal travel, rubberized silk cloth focal plane shutter with a speed range of 1/1000 second to 1 second, along with Bulb and a flash X-sync of 1/60 second. It is 91.4 millimetres tall, 143 mm wide, and 48 mm deep, and weighs 620 grams. The body was finished in black leather with chrome trim only.

The Pentax ME Super was a highly successful 35 mm single-lens reflex camera produced by Pentax of Japan between 1979 and 1984. The ME Super has an electronic focal plane shutter with metal curtains and a vertical movement. Shutter speeds are selected with up and down buttons rather than the conventional wheel. They run from 4 seconds to 1/2000 of a second, with flash synchronisation at 1/125 of a second. 

LEICA M4 (BLACK BODY)
The Leica M4 was introduced in 1967. The Leica M4 is by many photographers and collectors alike considered the epic model of the Leica rangefinder cameras. The reason is the finder optics and the superior mechanical quality, not convincingly equalled in later models. The Leica has a particular shutter sound that connoisseurs appreciate, and there is the highly appreciated feel of quality in every detail. Never the less, the modern Leicas are far removed from the original handmade screw lensmount cameras built of an aluminium tube, steel spindles, and brass plates screwed together. The M-body is a metal casting machined to close tolerances, and every component made to perform reliably under strenuous conditions.

Ini salah 1 kamera kebanggaan bokap. Dan secara sampai sekarang, merek Leica masih bercokol di harga yang sangat tinggi, baik untuk body ataupun lensa2nya entah dari jenis analog ataupun seri terbarunya, makanya gue merasa sangat beruntung bisa diwariskan kamera ini. Menurut bokap sistem kamera ini agak beda dengan kamera analog lainnya. Tapi berhubung gue juga ga mudeng bedanya dimana, gue ga bakal ngebahas lebih lanjut soal itu, daripada dibilang sotoy kan. Gue juga ga pernah nyobain kamera ini sejak keluar dari lemari penyimpanan. Pengennya sih gue ngebersihin body dan lensanya sebelum gue simpan di dry box, tapi berhubung udah tanya sana-sini jarang banget ada orang yang berani bongkar2 Leica dan kalopun ada yang mau pun ongkos servisnya juga termasuk sangat mahal, jadi kayaknya di pending dulu aja rencana servisnya.

The Yashica-Mat LM was introduced in 1958. "LM" stands for Light Meter, referring to the uncoupled selenium cell exposure meter in front of the viewfinder. It's an all-mechanical camera; even the light meter doesn't need a battery. The Yashica-Mat LM is a solidly made, easy-to-use camera.  It uses 120-rollfilm only, on which it takes 6×6 pictures (or more accurately: 55mm × 55mm). It has a Copal central shutter with speeds from 1s to 1/500 and B. It offers flash sync at all speeds. The taking lens is a 3,5 Yashinon, an 80 mm four-element lens said to be of the Tessar design. It can be stopped down to F/22. The viewing lens is a 3,2 Yashinon. It accepts bay I filters. Shutter speeds and diaphragm are set by two wheels on the front plate, the values set are shown in a window above the viewing lens. Looking onto the ground glass in the waist-level finder, both values and light meter indications are visible.

Salah 1 kamera yang bikin gue penasaran juga, secara ini adalah medium format. Tapi sayangnya karena kamera ini masih pake film 120mm yang sekarang udah langka banget, dan kalopun ada harganya juga pasti selangit, jadinya sampe sekarang gue juga belum punya kesempatan untuk nyoba kamera ini. 

Around 1930 it appears that Zeiss Ikon began to rationalize the folding cameras in their catalog. Much of the confusing array of different models that was inherited in the merger, and that often competed for the same market were being fazed out, and the new line of Ikontas were introduced. Initially, cameras with less expensive lenses were marked Ikomats, but were the same body, and carried the same number designation. The first of the Ikonta cameras were the 520 series. They were available as 520 (4.5 x 6cm), 520/2 (6 x 9cm), 520/14 (5 x 7.5cm), 520/15 (6.5 x 11cm), 520/16 (6 x 6cm) and 520/18 (3 x 4cm). The largest of the Ikontas was the Ikonta D, 520/15. Early versions use 116 film, later it was changed to 616. It could be had with a 6.3 Novars in Derval shutter.

Ini adalah kamera paling tua yang dimiliki sama bokap. Dari bentuknya aja udah keliatan banget kalo ni kamera jaman perang dunia. Kamera ini juga pake film 120mm, tapi gue sama sekali ga berminat untuk nyoba karena kok kayaknya pasang filmnya aja udah ribet banget. Lagipula kalo ngeliat umur kamera yang bahkan lebih tua dari umur bokap gue sendiri (bokap aja kelahiran tahun 1943), gue ragu kalo kamera ini benar2 masih bisa berfungsi dengan baik atau ga. Untuk amannya sih, daripada rusak mendingan ga usah di utak-atik aja lah!!

OLYMPUS 35 RD
The Olympus 35 RD was a compact, 35mm, rangefinder camera introduced by Olympus in 1975. The 35 RD was fitted with a mechanical Seiko leaf shutter with speeds from 1/2 to 1/500th of a second, plus B. Shutter speed was set by a ring on the camera lens. Electronic flash synchronized with any shutter speed. The 35 RD could be used in both manual (without metering) or aperture priority mode.

Minggu, 17 Juni 2012

My Jacket Collection (part 2)

Beberapa bulan lalu gue sempet posting tentang koleksi jaket gue. Di posting itu gue bilang kalo untuk sementara ga bakal beli2 jaket dulu, tapi ternyata gue mengingkari janji gue itu. Sejak posting itu gue publish sampe sekarang (kurang lebih 3 bulan), jaket gue malah bertambah 6 buah (lagi) jumlahnya. Hehehe. Nyokap sih belum tau soalnya jaket2 itu ada yang gue selundupkan sementara di rumah Dani, dan sebagian lagi berhasil gue loloskan ke dalem lemari tanpa diketahui nyokap.

Here they are, my new jackets collection..

Ini adalah hoodie ke-2 gue. Korean Hoodie merek Polham, masih 1 brand sama hoodie gue sebelumnya (Empolham). Hoodie ini cukup simple cuma bertuliskan POLHAM di bagian dada dan berwarna biru cerah. Bahannya juga sama kayak Empolham, tebel tapi ga panas. Sebenernya sempet beli sepasang yang beda warna biar bisa pake couple hoodie sama Dani, yang 1 lagi warna item dengan tulisan warna merah, tapi ternyata hoodie yang item ukurannya lebih kecil dari yang biru ini, daripada ga kepake akhirnya dengan terpaksa hoodie item itu dijual ke temen kantornya dani.

Oia, hoodie Polham ini sempet nongol di Running Man episode 70 loh!! Tim-nya The Commander (Jong Kook, Haha, Gwang Soo, Min Ki) pake hoodie warna merah yang modelnya sama persis kayak hoodie ini. Hahaha..ga penting banget deh gue!! Gue sempet iseng ngecek website resminya Polham dan menemukan kalo hoodie ini salah 1 yang masih edar di Korea sana. Harga di websitenya 59.800 won dan tersedia dalam beberapa warna, salah satunya biru kayak punya gue.

Jaket ini juga merek Polham. Alesan beli karena emang butuh jaket sehari2 pas cuaca panas. Jaket2 gue sebelumnya kebanyakan tebel2 banget dan lebih cocok dipake buat musim ujan (sebenernya sih buat autumn/winter season). Kalo musim kemarau gini gue nekad pake jaket2 itu sama aja kayak gue pake sauna suit di tengah hari bolong. Kalo gue punya jaket ini kan, gue bisa mengistirahatkan dulu jaket2 tebal gue selama musim kemarau.


Jaket ketiga ini gue beli sebagai ganti jaket iguana hijau gue yang udah harus dimuseumkan karena kondisinya yang mulai menyedihkan. Warnanya hijau pucet dengan merek Woolrich, terbuat dari campuran polyester dan nylon. Kalo kata Dani sih dah kayak terpal karena bahannya agak kaku dan berisik kalo dipake. Hahaha. Gue sih suka sama jaket ini. Selain warnanya yang ga norak, potongannya juga bener2 pas di badan gue. Modelnya ga terlalu sporty, jadi masih bisa dipake untuk acara2 semi formil.



Ini adalah salah 1 favourit gue, jaket double polar merek Salomon Clima Pro. Agak panjang ceritanya sampe akhirnya bisa beli jaket ini. Awalnya gue naksir banget sama jaket merek The North Face warna putih dengan model dan bahan yang hampir sama kayak jaket Iguana hijau gue. Sayangnya jaket putih itu kurang gede 1 ukuran buat gue. Beralih ke jaket The North Face lainnya warna pink dengan bahan gore-tex. Kalo jaket ini sesuai dengan ukuran gue tapi mengingat gue udah punya jaket warna pink (Iguana Performance), akhirnya Dani nyaranin buat cari yang lain aja. Hari berikutnya gue dateng ke toko lagi buat beli si North Face pink itu karena entah kenapa gue kebayang2 terus sama jaket itu tapi ternyata pas sampe sana udah dibeli orang. Hiks2.

Setelah kehilangan North Face pink itu, gue tertarik sama jaket Salomon Clima Pro warna hijau. Ukurannya juga pas di gue, tapi sayang bahannya terlalu tebel dan panas untuk iklim Indonesia. Dan di saat2 gue bimbang, si om pemilik toko jaket itu berbaik hati ngajakin gue dan Dani buat mampir ke gudang tempat penyimpanan stok dagangannya. Di gudang itu ga cuma ada jaket aja, tapi kaos, celana, dan sepatu (kebanyakan untuk outdoor). Tambah kalap-lah gue sama Dani ngeliat ''harta karun'' itu.

Pas lagi ngubek2 jaket di antara tumpukan plastik2 dan kardus2 penyimpanan, gue ngeliat sebuah jaket dengan warna yang menarik tergeletak begitu saja di atas salah 1 kardus. Warnanya biru tosca hampir sama kayak jaket Esprit gue. Ngeliat gue nemu jaket itu, si om pemilik toko bilang kalo gue ga salah pilih. Masih dalam tipe Clima Pro, jaket merek Salomon ini ternyata double polar. Ada 1 lapisan jaket warna biru tua dengan bahan katun di dalemnya yang bisa di copot. Jadi kalo pas cuaca panas, bisa pake bagian inner-nya aja sebagai jaket atau tinggal copot bagian inner-nya kalo mau pake jaket luarannya. Topi yang ada di jaket juga bisa dicopot. Begitu dicobain dan ternyata ukurannya pas di badan gue, tanpa ragu gue langsung beli jaket itu. Rasa nyesek kehilangan North Face pink langsung terbayar seketika. Haha.

The next one is The North Face. Jaket ini warnanya ungu terang dengan bahan TFX Apex (kayak bahan jaket iguana ijo gue). Dapet jaket ini juga ga sengaja pas diajakin si om buat maen ke gudang lainnya yang khusus nyimpen barang2 outdoor. Ga nyesel deh berpanas2an dan sumpek2an di dalem ''kolam jaket'' tapi berhasil bawa pulang jaket cantik ini. Foto menyusul kalo gue ga males, soalnya jaketnya udah masuk ke kantong vakum dan lagi diinapkan di rumah dani selama rumah gue di renov.


The last, jaket yang baru aja gue dapatkan semalam. Sebuah jaket casual berbahan denim dan terdapat bulu2 halus di bagian dalamnya ini keluaran Adidas. Gue sendiri sebenernya bukan fanatik produk Adidas kayak Dani, tapi berhubung jarang banget Adidas ngeluarin produk casual kayak gini makanya gue ga ragu2 buat menguras isi dompet untuk beli jaket ini. Toh gue emang belum punya jaket casual, jadi jaket ini pasti bagus kalo nyempil di antara jaket2 sport gue yang lain. Hehehehe.

Dengan bertambahnya koleksi gue dengan 6 buah jaket di atas, berarti total jaket yang gue punya sekarang ada 11 buah (padahal yang bener2 kepake buat sehari2 cuma 2-3 buah aja. Hehehe). Ya gapapalah, itung2 investasi kan. Kali aja suatu saat gue bakal ngerasain winter di luar negeri, gue ga perlu repot2 cari jaket lagi kan secara sebagian besar jaket gue itu emang buat winter. Jaket2 ini juga ga bakal gue jual karena walau ada yang nawar dengan harga melebihi harga counter. Gue aja susah dapetinnya, masa iya gue tega ngejualnya. Tapi kalo ada yang mau cari jaket sejenis kayak koleksi gue, mungkin gue bisa bantu cariin dengan harga yang disesuaikan tentunya. :p

2 Penjaga

Aku beruntung bisa punya 2 orang lelaki yang selalu menjagaku. Yang 1 adalah kekasihku, dan yang 1 adalah sabahatku. Mereka punya arti yang sama untukku. Tidak akan bisa terganti atau digantikan posisinya dengan yang lain. Aku membutuhkan mereka dalam kapasitas yang berbeda. Butuh kekasihku untuk bisa menyayangiku dan menjagaku saat ia benar2 jadi pendamping hidupku kelak. Juga butuh sahabatku untuk selalu mendengarkan apa yang tak bisa aku sampaikan pada orang lain dan sebagai tempat yang kutuju saat aku merasa terlalu lelah bersama kekasihku. Mungkin terdengar egois, tapi aku butuh mereka berdua, bukan salah 1 diantaranya.

Jumat, 01 Juni 2012

Obrolan Konyol Soal Anak

Tadi pas pacar pulang kuliah, dia mampir ke rumah gue untuk makan malem. Di rumah kebetulan lagi ada keluarga abang gue yang nginep selama bokap di rumah sakit. Pas kita lagi makan malem, ponakan gue yang kecil bilang ke kakak ipar gue yang sedang masak kalo dia pup. Pacar tiba2 aja nanyain gue apa yang akan gue lakukan kalo itu adalah anak gue. Dari situlah obrolan kami soal anak dimulai.

Pacar : ''Kalo itu anak kamu gimana??''
Gue : ''Aku bilang, sana bilang sama papa.'' (sambil cengar/i)
Pacar : ''Ah kok gitu sih!! Ya udah aku bilang aja papa lagi sibuk ke mama aja sana.''
Gue : ''Ya udah kalo gitu mendingan kita bawa aja ke rumah eyang yuk!!''
Pacar : ''????''

Tentunya ide konyol itu terlontar begitu saja. Semoga aja begitu gue nikah dan punya anak nanti, gue dan suami bisa sama2 ngasuh anak kami tanpa merepotkan orang lain dan tidak seperti skenario dalam perbincangan konyol kami tadi. :p