Dibawah ini adalah beberapa dari koleksi kamera analog tua punya bokap. Semuanya masih bisa berfungsi dengan baik walaupun lensanya sudah agak berjamur. Maklum saja, kamera2 ini hampir 20 tahun mendekam di dalam lemari tanpa perawatan sama sekali setelah bokap memutuskan pensiun dari dunia fotografi. Walaupun gue juga tidak menggunakannya karena alasan kepraktisan, tapi gue akan tetap menyimpan semua kamera ini dengan baik karena walaupun tua, kamera2 ini adalah salah 1 warisan dari bokap yang sangat berharga.
NIKON FM
The Nikon FM is an advanced mechanically operated, interchangeable lens, 35 mm film, single-lens reflex (SLR) camera. It was manufactured in Japan between 1977 and 1982 by Nippon Kogaku K. K. (now Nikon Corporation). The FM accepts all Nikon F bayonet mount lenses, with certain limitations or exceptions. Full compatibility requires lenses that support the Automatic Maximum-Aperture Indexing (AI) specification. This includes most Nikon lenses manufactured after 1977. Pre-AI lenses can be used, but only with stop-down metering. Time has proven the FM to be tough and reliable and it is now regarded as one of the finest SLRs of its generation.
Kamera ini termasuk yang paling sering gue pakai. Kebetulan kamera DSLR gue juga 1 merek dengan kamera ini, jadi gue masih bisa pake lensanya di DSLR gue dengan modus manual. Ini juga salah 1 kamera yang gue pake buat belajar fotografi sama bokap dulu, sayangnya gue ga terlalu mudeng dengan sistem pengoperasiannya, jadi dulu banyak banget hasil jepretan gue yang gagal.
Kamera ini termasuk yang paling sering gue pakai. Kebetulan kamera DSLR gue juga 1 merek dengan kamera ini, jadi gue masih bisa pake lensanya di DSLR gue dengan modus manual. Ini juga salah 1 kamera yang gue pake buat belajar fotografi sama bokap dulu, sayangnya gue ga terlalu mudeng dengan sistem pengoperasiannya, jadi dulu banyak banget hasil jepretan gue yang gagal.
PENTAX ASAHI K1000
The Pentax K1000 (originally marked the Asahi Pentax K1000) is an interchangeable lens, 35 mm film, single-lens reflex (SLR) camera, manufactured by Asahi Optical Co., Ltd. from 1976 to 1997, originally in Japan. It uses a horizontal travel, rubberized silk cloth focal plane shutter with a speed range of 1/1000 second to 1 second, along with Bulb and a flash X-sync of 1/60 second. It is 91.4 millimetres tall, 143 mm wide, and 48 mm deep, and weighs 620 grams. The body was finished in black leather with chrome trim only.
The Pentax ME Super was a highly successful 35 mm single-lens reflex camera produced by Pentax of Japan between 1979 and 1984. The ME Super has an electronic focal plane shutter with metal curtains and a vertical movement. Shutter speeds are selected with up and down buttons rather than the conventional wheel. They run from 4 seconds to 1/2000 of a second, with flash synchronisation at 1/125 of a second.
LEICA M4 (BLACK BODY)
The Leica M4 was introduced in 1967. The Leica M4 is by many photographers and collectors alike considered the epic model of the Leica rangefinder cameras. The reason is the finder optics and the superior mechanical quality, not convincingly equalled in later models. The Leica has a particular shutter sound that connoisseurs appreciate, and there is the highly appreciated feel of quality in every detail. Never the less, the modern Leicas are far removed from the original handmade screw lensmount cameras built of an aluminium tube, steel spindles, and brass plates screwed together. The M-body is a metal casting machined to close tolerances, and every component made to perform reliably under strenuous conditions.
Ini salah 1 kamera kebanggaan bokap. Dan secara sampai sekarang, merek Leica masih bercokol di harga yang sangat tinggi, baik untuk body ataupun lensa2nya entah dari jenis analog ataupun seri terbarunya, makanya gue merasa sangat beruntung bisa diwariskan kamera ini. Menurut bokap sistem kamera ini agak beda dengan kamera analog lainnya. Tapi berhubung gue juga ga mudeng bedanya dimana, gue ga bakal ngebahas lebih lanjut soal itu, daripada dibilang sotoy kan. Gue juga ga pernah nyobain kamera ini sejak keluar dari lemari penyimpanan. Pengennya sih gue ngebersihin body dan lensanya sebelum gue simpan di dry box, tapi berhubung udah tanya sana-sini jarang banget ada orang yang berani bongkar2 Leica dan kalopun ada yang mau pun ongkos servisnya juga termasuk sangat mahal, jadi kayaknya di pending dulu aja rencana servisnya.
Ini salah 1 kamera kebanggaan bokap. Dan secara sampai sekarang, merek Leica masih bercokol di harga yang sangat tinggi, baik untuk body ataupun lensa2nya entah dari jenis analog ataupun seri terbarunya, makanya gue merasa sangat beruntung bisa diwariskan kamera ini. Menurut bokap sistem kamera ini agak beda dengan kamera analog lainnya. Tapi berhubung gue juga ga mudeng bedanya dimana, gue ga bakal ngebahas lebih lanjut soal itu, daripada dibilang sotoy kan. Gue juga ga pernah nyobain kamera ini sejak keluar dari lemari penyimpanan. Pengennya sih gue ngebersihin body dan lensanya sebelum gue simpan di dry box, tapi berhubung udah tanya sana-sini jarang banget ada orang yang berani bongkar2 Leica dan kalopun ada yang mau pun ongkos servisnya juga termasuk sangat mahal, jadi kayaknya di pending dulu aja rencana servisnya.
The Yashica-Mat LM was introduced in 1958. "LM" stands for Light Meter, referring to the uncoupled selenium cell exposure meter in front of the viewfinder. It's an all-mechanical camera; even the light meter doesn't need a battery. The Yashica-Mat LM is a solidly made, easy-to-use camera. It uses 120-rollfilm only, on which it takes 6×6 pictures (or more accurately: 55mm × 55mm). It has a Copal central shutter with speeds from 1s to 1/500 and B. It offers flash sync at all speeds. The taking lens is a 3,5 Yashinon, an 80 mm four-element lens said to be of the Tessar design. It can be stopped down to F/22. The viewing lens is a 3,2 Yashinon. It accepts bay I filters. Shutter speeds and diaphragm are set by two wheels on the front plate, the values set are shown in a window above the viewing lens. Looking onto the ground glass in the waist-level finder, both values and light meter indications are visible.
Salah 1 kamera yang bikin gue penasaran juga, secara ini adalah medium format. Tapi sayangnya karena kamera ini masih pake film 120mm yang sekarang udah langka banget, dan kalopun ada harganya juga pasti selangit, jadinya sampe sekarang gue juga belum punya kesempatan untuk nyoba kamera ini.
Salah 1 kamera yang bikin gue penasaran juga, secara ini adalah medium format. Tapi sayangnya karena kamera ini masih pake film 120mm yang sekarang udah langka banget, dan kalopun ada harganya juga pasti selangit, jadinya sampe sekarang gue juga belum punya kesempatan untuk nyoba kamera ini.
Around 1930 it appears that Zeiss Ikon began to rationalize the folding cameras in their catalog. Much of the confusing array of different models that was inherited in the merger, and that often competed for the same market were being fazed out, and the new line of Ikontas were introduced. Initially, cameras with less expensive lenses were marked Ikomats, but were the same body, and carried the same number designation. The first of the Ikonta cameras were the 520 series. They were available as 520 (4.5 x 6cm), 520/2 (6 x 9cm), 520/14 (5 x 7.5cm), 520/15 (6.5 x 11cm), 520/16 (6 x 6cm) and 520/18 (3 x 4cm). The largest of the Ikontas was the Ikonta D, 520/15. Early versions use 116 film, later it was changed to 616. It could be had with a 6.3 Novars in Derval shutter.
Ini adalah kamera paling tua yang dimiliki sama bokap. Dari bentuknya aja udah keliatan banget kalo ni kamera jaman perang dunia. Kamera ini juga pake film 120mm, tapi gue sama sekali ga berminat untuk nyoba karena kok kayaknya pasang filmnya aja udah ribet banget. Lagipula kalo ngeliat umur kamera yang bahkan lebih tua dari umur bokap gue sendiri (bokap aja kelahiran tahun 1943), gue ragu kalo kamera ini benar2 masih bisa berfungsi dengan baik atau ga. Untuk amannya sih, daripada rusak mendingan ga usah di utak-atik aja lah!!
Ini adalah kamera paling tua yang dimiliki sama bokap. Dari bentuknya aja udah keliatan banget kalo ni kamera jaman perang dunia. Kamera ini juga pake film 120mm, tapi gue sama sekali ga berminat untuk nyoba karena kok kayaknya pasang filmnya aja udah ribet banget. Lagipula kalo ngeliat umur kamera yang bahkan lebih tua dari umur bokap gue sendiri (bokap aja kelahiran tahun 1943), gue ragu kalo kamera ini benar2 masih bisa berfungsi dengan baik atau ga. Untuk amannya sih, daripada rusak mendingan ga usah di utak-atik aja lah!!
OLYMPUS 35 RD
The Olympus 35 RD was a compact, 35mm, rangefinder camera introduced by Olympus in 1975. The 35 RD was fitted with a mechanical Seiko leaf shutter with speeds from 1/2 to 1/500th of a second, plus B. Shutter speed was set by a ring on the camera lens. Electronic flash synchronized with any shutter speed. The 35 RD could be used in both manual (without metering) or aperture priority mode.