Malam ini terjadi lagi. Masing2 dari kita dikuasai ego dan emosi kita sendiri. Tidak ada lagi kita. Semua kembali ke aku dan kamu. Aku diam dalam amarahku, begitu juga kamu. Tidak peduli jika kita saling menyakiti satu sama lain. Amarah menjadi bahasa kita.
Dan ini bukan lagi tentang agama atau restu orangtua, tapi tentang seberapa besar kita bisa berkompromi dengan situasi saat salah 1 diantara kita sedang dalam emosi. Saat yang 1 seharusnya bisa menenangkan yang lain dan bukannya ikut hanyut dalam emosi yang sama.
Ketika kita justru terperangkap dalam emosi dibanding logika untuk kesekian kalinya, kita hanya menambah luka. Sekali lagi keyakinanku goyah. Inikah cara berkomunikasi kita secara dewasa?? Yakinkah kamu jika kita bisa tumbuh dan menua bersama??