Sabtu, 30 Agustus 2014

1st Time Ikut Selfie Contest

Posting kali ini akan agak (banyak sih) melenceng dari posting2 gue sebelumnya di blog ini. Kalo selama ini gue cuma nulis soal curhatan pribadi atau hal2 absurd lainnya, kali ini gue pengen bikin posting soal selfie. Yup, selfie. Gue mau ikutan lomba selfie yang diadain sama Mbak Arum si beauty blogger terkenal itu yang blog-nya sering gue stalking-in. Oke, i'm not a beauty blogger, tapi gue suka selfie. Jadi ga ada salahnya coba ambil bagian di Racun Selfie Contest ini kan??


Gue sengaja milih foto2 selfie di posting ini dengan tema black and white. Selain suka sama warna hitam dan putih, gue juga ngerasa black and white photography itu bikin foto terlihat lebih hidup. Mata gue yang kata orang2 udah tajam juga bisa jadi semakin tajam, jadi bisa tu buat pose dengan ekspresi smize ala2 model majalah gitu. Selain itu, efek foto hitam putih itu bisa nyamarin hasil make up gue yang masih sangat amatir, jadi ga keliatan tu kalo ada bedak2 menggumpal di bagian2 tertentu. Hihihihi.

Beberapa foto dibawah ini ada yang diambil dari kamera hape (Lumia 620), dan ada yang pake DSLR + tripod juga. Harap buat yang ga kuat liat foto2nya bisa segera klik tanda X di pojok kanan atas halaman browsernya ya. Efek samping seperti kepala pusing, perut mual dan muntah ga ditanggung ya. :p








Biar ga bosen liat foto2 gue doang, gue tambahin deh foto sama pacar. Ya walau namanya udah ga selfie lagi karena fotonya berdua tapi yaudahlah ya gapapa yang penting temanya masih hitam putih. *maksa*




Yup sekian foto2 selfie gue. Kalo mau liat lebih banyak foto selfie gue bisa follow instagram gue aja. Hahaha. Sekalian promo.

Posting ini dibuat untuk mengikuti Racun Warna-Warni Selfie Contest yang disupport oleh Miss Lie Collection dan Cathy Doll Indonesia. Semoga menang... :)


Jumat, 15 Agustus 2014

Lihat Dari Sudut Pandang Berbeda

Siang tadi seorang teman memposting sebuah link yang berisi tentang pentingnya berkendara secara aman bagi muslimah. Dia memposting itu karena dia melihat sendiri bagaimana seorang ibu yang berhijab dan bercadar mengendarai sepeda motor tanpa mengenakan jaket ataupun helm. Gue ngerti maksudnya temen gue itu adalah menyampaikan bahwa sepanjang apapun pakaian atau serapat apapun jilbab yang dipakai, tetap wajib yang namanya memakai jaket dan helm saat naik motor demi keselamatan.

Dari situ gue teringat pengalaman yang pernah gue alami dan lihat sendiri, kebetulan kejadiannya hampir sama. Gue sering melihat banyak jamaah suatu pengajian (ga usah disebut lah ya biar damai dan ga ada yang salah paham lagi) yang naik motor iring2an saat akan menghadiri tablig akbar pengajiannya. Saat iring2an, sering terlihat jika 1 motor dikendarai 3 orang sekaligus, tanpa memakai jaket dan helm (biasanya pakai baju koko & sarung). Tidak hanya itu saja, iring2an tersebut kadang menyebabkan kemacetan karena beberapa dari mereka mengibar2kan bendera pengajiannya dan mengklakson2 dan menyalip kendaraan lainnya untuk minta diberi jalan sekalipun jalanan memang sedang macet dan kendaraan lain juga tidak bisa bergerak.

Pernah suatu ketika mobil gue tiba2 di blok oleh salah 1 jamaah yang kemudian menaruh motornya di tengah jalan untuk memberi jalan kepada jamaah lainnya dan saat mobil di belakang gue yang tampak sedang terburu2 ingin menyalip, salah seorang jamaah lainnya yang masih berusaha menghalangi mobil itu malah memukul kap mobil itu dengan kasar. Untungnya saat itu tidak sampai terjadi keributan walaupun sempat terjadi ketegangan antara si jamaah dan pengendara mobil itu.

Gue menuliskan komen di posting temen gue itu berdasarkan apa yang memang pernah gue lihat dan alami sendiri. Yang ingin gue menyampaikan adalah kalo tindakan semacam itu tidak hanya membahayakan keselamatan mereka sendiri tapi juga berpotensi untuk membahayakan pengendara lainnya juga. Seterburu2 apapun kita untuk menghadiri suatu acara, tetap wajib menggunakan alat keselamatan dan mematuhi tata tertib berlalu lintas. Teman gue si empunya posting menangkap apa maksud dari komen gue, tapi tidak dengan komenter lainnya.

Gue yang siang tadi sedang berada di commuter line menuju kota dikejutkan dengan komen lainnya yang sepertinya tersinggung dengan komen gue dan postingan teman gue itu. Dia menganggap kalo komen gue dan posting itu terkesan menyudutkan orang2 berhijab dan berbaju koko-sarungan. Dia menegur dan bilang kalo banyak anak muda lainnya yang juga sering naik motor hanya pakai celana pendek, tanpa mengenakan helm, dan berboncengan juga. Ya gue juga setuju pendapat dia karena emang udah jadi rahasia umum kali ya kalo itu. Tapi balik lagi ke awal, bukan maksudnya gue dan temen gue itu ingin menyudutkan suatu kelompok tertentu, tapi memang sekedar berbagi pengalaman dan cerita supaya bisa jadi pelajaran buat semua yang baca gimana pentingnya berkendara dengan baik, yang hanya saja kebetulan contohnya adalah jamaah suatu pengajian, dan lagi kebetulan karena link yang diposting juga tentang muslimah.

Gue ga ngebahas soal anak2 alay yang suka boncengan bertiga2 pake tanktop-celana pendek-rambut dipirangin karena buat gue mereka kebanyakan adalah anak muda yang nalarnya belum sampai soal keselamatan berkendara, bukan berarti lantas gue memaklumi kelakuan mereka itu ya. Sedangkan kalo jamaah suatu pengajian itu tingkatnya udah jauh lebih intelek dibanding anak2 alay, apalagi mereka pemahaman agamanya juga lebih bagus dibanding orang2 lainnya, jadi sangat disayangkan kalo sampai mereka membahayakan keselamatan diri sendiri ataupun orang lain saat berkendara. Dan terlebih lagi yang gue alami langsung ya memang berhubungan dengan jamaah suatu pengajian, jadi ya gue ga kasih contoh anak2 alay itu karena emang belum (jangan sampe) pernah berurusan sama mereka.

Yang gue ingin tekankan disini tu coba deh liatnya dari sudut pandang yang beda. Gue bisa ngerti kalo liat dari sudut pandang dia sebagai seorang yang berhijab juga merasa tersinggung saat membaca komen gue di posting itu yang terkesan menyamaratakan semua jamaah. Ya mungkin sama kayak misal ada seorang hijaber yang menulis atau berkomentar soal seorang perempuan yang tidak berhijab dan lantas dicap sebagai yang cacat moral kemudian menyamaratakan semua orang yang tidak berhijab seperti itu. Gue juga mungkin sebagai seorang yang belum berhijab tapi ga pernah melakukan sesuatu yang bersifat merusak moral akan panas kalo disamaratakan seperti itu. Tapi coba dicerna baik2 dulu deh kasusnya seperti apa sebelum berkomentar, gue dari awal bilang kalo gue terganggunya sama jamaah suatu pengajian tertentu dan itu pernah gue alami sendiri, dengan kata lain hanya tertuju pada oknum, bukan keseluruhan.

Coba deh liat dari sudut pandang gue sebagai pengendara mobil yang tiba2 di blok jalannya (jalan kita di salip dan kemudian motornya berhenti mendadak di depan mobil kita) atau si pengendara mobil yang kap mobilnya dipukul tadi. Mau kita berhijab atau tidak bukankah itu akan jadi suatu perbuatan yang mengganggu dan mebahayakan kalo terjadi sama kita?? Sama kayak mau kita anak alay atau jamaah pengajian, kalo ga pake helm pas naik motor kemudian jatuh ya kepalanya pasti kebentur aspal dan itu sangat bahaya banget kan?? Sekali lagi gue tekankan bahwa gue benar2 tidak bermaksud untuk menyudutkan atau menghina orang2 yang berhijab atau bersarung ya. Coba tolong pahami dari sudut pandang gue.

Secara dunia maya itu kita cuma komunikasi lewat kata atau gambar, masing2 orang bisa melihat dan memahami gambat atau suatu kalimat dengan berbagai macam ekspresi. 1 kalimat yang sama kalo dibaca dengan nada biasa atau dengan nada sinis atau marah juga hasilnya sudah pasti akan jadi berbeda situasinya. Kita sendiri yang menginterprestasikan tulisan orang lain yang kita baca sesuai suasana hati kita. Jadi biar ga salah paham dan kemudian malah jadi konflik berkepanjangan, jadi coba deh mulai sekarang kita belajar nilai suatu hal ga cuma dari sudut pandang kita sendiri aja, tapi berusaha untuk memahami sudut pandang orang lain juga. :)

Senin, 11 Agustus 2014

Menghargai Perbedaan

Gue lahir dan dibesarkan di keluarga yang multi ras, multi etnis, multi, agama, dan multi budaya. Sejak kecil di keluarga gue diajarkan untuk bisa menghargai segala bentuk perbedaan yang ada di sekitar gue. Orangtua gue selalu menekankan pentingnya bisa menghargai perbedaan, bahwa kita hidup di lingkungan sosial yang mengharuskan kita bisa tolerir dengan banyaknya perbedaan di segala aspek. Gue tumbuh dengan terbiasa menerima dan menghargai banyak perbedaan, contohnya agama, warna kulit ataupun bahasa.

Sampai suatu ketika gue bertemu dengan orang2 yang punya pikiran berbeda soal menghargai perbedaan. Mereka cenderung menolak perbedaan di lingkungannya. Sebisa mungkin semuanya harus sama. Gue berbeda bagi mereka, begitu juga sebaliknya, terutama cara pandang mengenai perbedaan. Tapi karena gue sudah terbiasa menerima perbedaan, dengan mudah gue bisa menghargai mereka dengan segala macam perbedaannya dengan lingkungan gue, tapi rupanya tidak sebaliknya. Mereka sama sekali tidak bisa menghargai perbedaan yang ada di lingkungan gue, justru berusaha memaksa supaya gue bisa sama dengan mereka.

Buat mereka, karena gue berbeda, tidak ada kewajiban untuk mereka menghargai gue. Karena gue berbeda, mereka merasa berhak untuk merendahkan dan menginjak2 harga diri gue. Tapi sekali lagi gue diingatkan akan pelajaran penting tentang bagaimana seharusnya menghargai perbedaan. Mereka punya perbedaan dalam menghargai orang2 yang berbeda dengan mereka, dan gue tetap harus menghargai itu. Ya alasannya sederhana, karena gue memang berbeda dengan mereka. Gue bisa menghargai mereka dengan segala perbedaannya, sementara mereka tidak.

Selasa, 05 Agustus 2014

Realistis

Seorang teman berkali2 curhat ke gue tentang masalah yang sama. Dia ingin segera menikah karena umurnya yang hampir kepala 3, tapi dia sendiri belum punya pasangan. Ga cuma itu, kriteria pasangan yang dia inginkan menurut gue sih terlalu tinggi. Temen gue sering dikenalin ke cowok2 sama teman2nya, tapi dari yang gue denger sendiri dari orangnya, dia belum juga nemu yang sreg di hati. Perlu gue tekankan disini kalo sreg yang dimaksud lebih condong ke fisik sama tingkat kemapanan.

Temen gue itu berharap bisa dapet cowok yang secara fisik ga malu2in untuk diajak jalan atau dikenalin ke orang2, yang lebih tinggi dari dia, berkulit cerah, dan ganteng (hampir semua cewek kayaknya ya pengen punya cowok yang tipe-nya kayak gini) dan secara kemapanan dia berharap calonnya kelak adalah yang sudah punya rumah dan kendaraan sendiri, kalaupun motor yang paling tidak motornya motor sport, bukan yang motor bebek atau matic biasa.

Sering banget dia cerita sama gue, "kemarin gue dikenalin sama si A tapi gue ga sreg ah, abis dia lebih pendek dari gue, kan gue malu kalo jalan sama cowok yg lebih pendek dari gue." atau "kemarin gue abis kenalan sama si B, tapi ternyata dia aja sekarang masih ngekost, kalo nikah sama dia kemungkinan gue bakal tinggal dirumah mertua atau ngekost juga nanti.". Temen gue itu selalu berkilah kalau dia berhak dapat yang terbaik dari seorang pria yang kelak akan hidup sama dia di sepanjang sisa umurnya. Oke alasannya ga salah, tapi balik lagi, mampu ga kita nemuin cowok dengan kriteria tersebut kalo di lingkungan pergaulan kita isinya rata2 cowok biasa dibawah kriteria kita itu??

Sedikit cerita tentang pengalaman gue sendiri, kriteria cowok idaman gue kurang lebih sama kayak temen gue itu, dan hampir semua mantan gue juga punya kriteria diatas secara fisik, tapi cowok gue yang sekarang jauh dari kriteria fisik di atas. Cowok gue yang sekarang cuma setinggi gue (167cm) berkulit sawo matang dan ga ganteng menurut gue (kemudian dijitak pacar), tapi justru dengan si cowok ini gue bertahan paling lama. Kalo ada yang mikir, paling cowoknya jelek tapi kaya. NO...!!! cowok gue cuma seorang PNS golongan 2C di sebuah instansi pemerintah yang remunnya baru dibayarkan sebesar 30%. Bisa dikira2 lah berapa pendapatannya tiap bulan. Intinya gue merasakan, pada akhirnya faktor kenyamanan bisa mengalahkan kriteria fisik dan apapun juga.

Dan mungkin karena pas dikenalin sama cowok gue yang sekarang, gue sama sekali ga punya pikiran kalo ni cowok bakal jadi pacar gue, jadi dari awak gue emang ga menarik diri pas dikenalin sama orang yang kriterianya beda jauh dari kriteria idaman gue. Beda sama si temen gue ini yang tiap dikenalin sama cowok, dia langsung beranggapan kalo cowok yang dikenalin itu bakalan jadi pacarnya, jadi ya begitu kenal sama cowok yang ga sesuai kriteria yang diharapkannya ya dia langsung ilfil dan lantas menutup diri dari cowok itu tanpa berusaha mau mengenal lebih dalam dulu.

Dalam kasus ini ga ada kesempatan untuk proses pengenalan dan pendekatan alami yang lebih jauh. Dari ga ada rasa sama sekali sampe akhirnya bisa menemukan titik dimana kita mulai bisa nyambung untuk interaksi satu sama lain sampe akhirnya menemukan kenyamanan itu. Kita ga pernah tahu jodoh kita siapa dan kayak apa. Kita berhak punya harapan yang tinggi terhadap (calon) pasangan, tapi kalo ternyata jodoh kita ga kayak apa yang kita harapkan dan kita selalu menutup diri sana orang2 yang punya kriteria diluar yang kita tetapkan ya gimana caranya mau ketemu jodohnya kalo gitu??

Lanjut ke soal faktor kemapanan, siapa sih cewek yang ga mau punya calon suami yang sudah mapan?? Gue yakin semua cewek mau. Tapi apa itu patut dijadikan patokan apa seorang cowok itu pantas untuk kita atau tidak hanya dari kemampuan financialnya saja?? Kalo lingkungan pergaulan kita aja lebih banyak dekat sama cowok2 yang kemampuan financialnya biasa aja ya sampe kapan mau nutup diri untuk nunggu supaya bisa dapet cowok kaya?? Dan jangan lupa, standar cowok2 kelas atas juga jauh lebih tinggi. Kalo kitanya sebagai cewek biasa2 aja dengan lingkungan pergaulan yang biasa juga, ya pasti bakalan kalah sama cewek2 kelas atas, bakalan susah kalo mau ngincer cowok dari kalangan jetzet.

Gue sendiri lebih menghargai cowok2 yang kemampuan financialnya biasa2 aja tapi pekerja keras dibanding sama yang kemampuan financialnya tinggi tapi kerjanya cuma ongkang2 kaki nikmatin kekayaan orangtuanya. Bukankah lebih terhormat kalo kita sebagai istri nanti, kita bisa jadi salah 1 sosok penting dibalik kesuksesan suami kita yang rela banting tulang untuk mencukupi nafkah keluarganya ketimbang jadi nyonya besar yang cuma bisa leyeh2 nikmatin harta suami??

Gue nulis posting ini sebagai bentuk kegemesan gue sama si temen gue itu, bukan karena gue ga rela dijadiin tempat curhat, tapi apapun saran yang gue kasih selalu dipentalin lagi sama dia. Dia curhat ke gue minta saran, tapi pas dikasih saran cuma dimentahin aja, ya kapan mau selesai masalahnya?? Intinya cuma perlu bersikap realistis aja. Ga salah punya harapan tinggi akan sesuatu, tapi kalo apa yang ada di depan kita dan apa yang bisa kita dapet ga sesuai harapan kita ya syukuri aja.